Aku berlarian kecil menyusuri jalan setapak diperbukitan, bersamanya. Udara sejuk menerpa wajah kami berdua, lihatlah wajahnya ceria tanpa beban seakan semua masalahnya tenggelam saat bersamaku, benarkah begitu?. Kicauan burung bernyanyi merdu seakan menyahuti tawa kami, aroma tanah nan khas menyambut kedatangan kami, rerumputan hijau bergoyang kecil seakan-akan angin ingin bermain bersamanya, pegunungan nan kokoh berada tepat didepan kedua indra penglihatan kami, bukankah semua itu indah?. Hal-hal yang biasa kita berdua lihat saat Senja tiba, duduk dibawah pohon beringin yang setiap waktu menyiapkan
“Arya.. Arya.. lihatlah, itu sungguh indah.” Ucapku tersenyum girang sambil menunjuk burung-burung yang membentuk formasi menarik. Ntah, kali keberapa aku menghabiskan waktu soreku hanya untuk melihat sunset atau hal menarik lainnya bersamanya.
Ia pun tersenyum menanggapiku, dia memang pendiam tidak banyak bicara. Lebih banyak mendengarkan. Kemudian ia berbaring direrumputan. Sambil memejamkan mata.
“Apa yang akan kau lakukan dimasa depan?”. Tanya Arya padaku.
“Ntah, aku belum memikirkan hal itu.” Jawabku sambil mencabuti rumput disekitar lalu melemparkannya ke sembarang arah.
“Akankah kita akan seperti ini terus? Kurasa tidak.” Ucapnya tenang masih dengan menutup matanya.
“Apa maksudmu?” Aku bingung mendengar jawabannya, ia lalu bangun dan mendahuluiku sambil tersenyum sekilas ke arahku. Aku pun berlari kecil mengejarnya. Dan kami pun pulang.
Sinar mentari muncul dari peraduannya, kicauan burung yang bertengger diranting pohon bersahutan , udara dingin menerpa permukaan kulitku, seiring embun yang menggelanyut didedaunan. Aku Abira Natha Ayu. Gadis desa yang kesehariannya membantu orang tua dan bermain. Umurku dan Arya tak jauh beda, sekitar 15 tahun. Ntah apa yang akan ku lukiskan di masa depan. Kehidupan di desaku sangatlah tradisional, di sini aku hidup dengan berbagai kesederhanaan. Dan Arya, dia tinggal disamping rumahku hanya beberapa langkah saja, ia tinggal bersama Ibunya. Ibunya sakit keras, tetapi Arya sangat telaten untuk merawat beliau. Arya sangat menyayangi Ibunya. Ia pernah bercerita padaku, andai ia menjadi orang sukses ia ingin kekota lalu ke rumah sakit ternama untuk mengobati penyakit ibunya. Di desa kami hanya terdapat sebuah puskesmas kecil, tak banyak membantu. Jika ingin kekota, kita harus mengumpulkan biaya banyak. Begitulah kehidupan kami. Pagi ini Aku dan Arya akan ke sungai. Jarak antara rumahku dengan Arya hanya beberapa langkah saja. Dan aku melihat Arya sedang membuat layangan didipan bambu didepan rumah, ku lihat dia sangat cekatan membentuk kerangka layangan yang ia buat. Mungkin bambu itu ia dapat dari pekarangan pamannya dibelakang rumah. Lalu aku menghampirinya, ntah sepertinya ia tak menyadari akan kehadiranku. Aku duduk disampingnya sambil menatap tangannya yang begitu terampil. Tak terasa, setengah jam layangan yang ia buat jadi. Ia lalu melirik ke samping lalu tersenyum ke arahku.
“Apakah layangan ini lebih meyenangkan daripada sahabatmu ini, sampai-sampai kau tidak menyadari kedatanganku setengah jam yang lalu.” Tanyaku sambil memegang layangan yang Arya buat.
“Maaf, maaf. Aku tidak sadar, aku disuruh paman membuat layangan ini untuk Si Kecil Abi. Jika tidak dia akan merajuk dan tak mau makan. Hehe.” Jawab Arya dengan senyumnya.
“Ya sudah, ayo kita ke sungai.” Ucapku sambil beranjak dari duduk dan dia mengikutiku dari belakang.
“Apakah layangan ini lebih meyenangkan daripada sahabatmu ini, sampai-sampai kau tidak menyadari kedatanganku setengah jam yang lalu.” Tanyaku sambil memegang layangan yang Arya buat.
“Maaf, maaf. Aku tidak sadar, aku disuruh paman membuat layangan ini untuk Si Kecil Abi. Jika tidak dia akan merajuk dan tak mau makan. Hehe.” Jawab Arya dengan senyumnya.
“Ya sudah, ayo kita ke sungai.” Ucapku sambil beranjak dari duduk dan dia mengikutiku dari belakang.
Sesampai di sungai aku berlari kecil sampai kakiku menyentuh jernihnya air sungai, ntah kenapa aku menyukai tempat ini setelah bukit. Aku duduk dibebatuan dan membiarkan kakiku terjilat oleh arus kecil air sungai yang tenang, menikmati semilir angin pagi yang menerpa wajahku dan menerbangkan beberapa helai rambutku. Aku sangat menyukai tempat ini, ku lihat Arya dia sedang sibuk mencari ikan yang tak kunjung dapat. Ntah kenapa, naluriku ingin membantunya sesekali aku tertawa kecil melihat wajah kesalnya karena ikan yang sempat berhasil ia tangkap lepas begitu saja. Aku menghampirinya, tiba-tiba didepanku ada sebuah ikan cukup besar dengan tenang tanganku mulai mendekati ikan tersebut lalu.. HAP.. aku menangkapnya, aku senang sekali ingin cepat-cepat aku berteriak kepada Arya. Aku mendongakkan wajah ke arahnya. Baru saja mulutku terbuka untuk memanggilnya.
“ARYAAA....” Teriak seseorang dari kejauhan.
“Ayo cepat pulang..” ku dengar suara Paman Kadir, menyuruh Arya untuk pulang.
“Memangnya mau apa paman?” ku lihat Arya sedang berlari setengah badannya basah lalu menghampiri suara yang sedari tadi menyuruhnya pulang.
“Ibumu sakit, cepat!!.” Teriak paman lagi. Ku lihat wajah Arya yang nampak dipenuhi kekhawatiran, saking khawatirnya mungkin secara tidak sadar dia meninggalkanku dengan tanganku yang masih memegang ikan yang rencananya ingin ku berikan padanya. Aku tahu, didesa ini Arya tinggal bersamanya Ibunya, Ayahnya meninggal 5 tahun yang lalu. Aku pun tahu dia sangat menyayangi Ibunya. Ia lebih mementingkan Ibunya dari siapapun, seringkali ia menceritakan tentang Ibunya kepadaku. Wajar saja, jika ia sangat khawatir pada beliau. Tidak ingin kehilangan orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya.
“ARYAAA....” Teriak seseorang dari kejauhan.
“Ayo cepat pulang..” ku dengar suara Paman Kadir, menyuruh Arya untuk pulang.
“Memangnya mau apa paman?” ku lihat Arya sedang berlari setengah badannya basah lalu menghampiri suara yang sedari tadi menyuruhnya pulang.
“Ibumu sakit, cepat!!.” Teriak paman lagi. Ku lihat wajah Arya yang nampak dipenuhi kekhawatiran, saking khawatirnya mungkin secara tidak sadar dia meninggalkanku dengan tanganku yang masih memegang ikan yang rencananya ingin ku berikan padanya. Aku tahu, didesa ini Arya tinggal bersamanya Ibunya, Ayahnya meninggal 5 tahun yang lalu. Aku pun tahu dia sangat menyayangi Ibunya. Ia lebih mementingkan Ibunya dari siapapun, seringkali ia menceritakan tentang Ibunya kepadaku. Wajar saja, jika ia sangat khawatir pada beliau. Tidak ingin kehilangan orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya.
Sudah seminggu sejak di sungai itu, aku selalu sendiri saat menikmati senja. Sore ini, seperti biasa aku ke bukit, kali ini tidak dengannya. Karena aku mengerti keadaanya, aku duduk dibawah pohon. Memejamkan mata sebentar menikmati senja yang tanpa bosan ku habiskan waktu disini setiap hari. Karena menurutku tiada hari, tanpa menikmati senja. Sungguh ini sangat menenangkan hatiku, serasa bebanku hilang saat berada disini.
“Kenapa tidak mengajakku?” Suara itu mengagetkanku, terdengar lemas suaranya.
“Bagaimana keadaan ibumu?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan darinya.
“Ibuku meninggal.” Ucapnya getir, ku lihat raut wajahnya beribu kesedihan menghinggapinya, air matanya tertahan seolah ia tidak ingin terlihat lemah didepanku. Aku kaget mendengar penuturannya, ada rasa duka didalam hatiku. Ku lihat ia menundukkan wajahnya,sesekali ia menyembunyikan air matanya yang jatuh.
“Bagaimana bisa? Aku turut berduka cita.” Ucapku lirih, tanpa terasa air mataku meleleh mendengar penuturan darinya. Ia terus menunduk, aku mendekat ke arahnya lalu mengelus pundaknya. Menenangkannya, aku tau mungkin ini sangat berat baginya, kehilangan seseorang yang berarti baginya.
“Kau tau Senja itu selalu apa adanya, luka, kehilangan, adalah sajak-sajak yang tercipta dibawahnya, diufuk mata ketika genggaman mereda. Senja mengajarkan kita sebuah keikhlasan, bahwa dia datang untuk malam, melewati kegelapan malam, sunyinya malam, tapi malam datang untuk pagi. Pagi datang membawa mentari yang selalu bersinar walau sendiri, sinarnya membawa setiap inci manfaat untuk menerangi alam. Artinya jika kau ikhlas untuk melepaskan, bisa jadi apa yang kau harapkan diganti oleh sesuatu yang lebih baik.” Ucapku sambil menatap ke depan tersenyum tipis.
“Aku tahu, dan kelak akan ada sore yang begitu sepi bagimu. Jaga dirimu baik-baik.” Ntah apa maksud dari kata-kata yang ia ucapkan, ia segera beranjak mengusap secuil butiran air mata yang ada diwajahnya. Lalu pergi meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya. Lalu aku segera berdiri. Ntah, apa yang akan ia lakukan selepas kepergian ibunya. Yang aku takutkan, aku tak bisa melihat tawanya lagi atau sekedar melihat senja bersamanya.
“Kenapa tidak mengajakku?” Suara itu mengagetkanku, terdengar lemas suaranya.
“Bagaimana keadaan ibumu?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan darinya.
“Ibuku meninggal.” Ucapnya getir, ku lihat raut wajahnya beribu kesedihan menghinggapinya, air matanya tertahan seolah ia tidak ingin terlihat lemah didepanku. Aku kaget mendengar penuturannya, ada rasa duka didalam hatiku. Ku lihat ia menundukkan wajahnya,sesekali ia menyembunyikan air matanya yang jatuh.
“Bagaimana bisa? Aku turut berduka cita.” Ucapku lirih, tanpa terasa air mataku meleleh mendengar penuturan darinya. Ia terus menunduk, aku mendekat ke arahnya lalu mengelus pundaknya. Menenangkannya, aku tau mungkin ini sangat berat baginya, kehilangan seseorang yang berarti baginya.
“Kau tau Senja itu selalu apa adanya, luka, kehilangan, adalah sajak-sajak yang tercipta dibawahnya, diufuk mata ketika genggaman mereda. Senja mengajarkan kita sebuah keikhlasan, bahwa dia datang untuk malam, melewati kegelapan malam, sunyinya malam, tapi malam datang untuk pagi. Pagi datang membawa mentari yang selalu bersinar walau sendiri, sinarnya membawa setiap inci manfaat untuk menerangi alam. Artinya jika kau ikhlas untuk melepaskan, bisa jadi apa yang kau harapkan diganti oleh sesuatu yang lebih baik.” Ucapku sambil menatap ke depan tersenyum tipis.
“Aku tahu, dan kelak akan ada sore yang begitu sepi bagimu. Jaga dirimu baik-baik.” Ntah apa maksud dari kata-kata yang ia ucapkan, ia segera beranjak mengusap secuil butiran air mata yang ada diwajahnya. Lalu pergi meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya. Lalu aku segera berdiri. Ntah, apa yang akan ia lakukan selepas kepergian ibunya. Yang aku takutkan, aku tak bisa melihat tawanya lagi atau sekedar melihat senja bersamanya.
Seketika, butiran bening berjatuhan sore ini menemani air matanya yang jatuh sebab kesedihan yang dialaminya. Aku lalu mengejarnya, setelah melihat punggungnya sudah tak bisa kulihat dari kejauhan. Hujan semakin deras sore ini, mengguyur sekitarnya. Aku terus memanggil namanya berteriak berharap ia mendengar panggilanku saat itu juga. Kepalaku dipenuhi oleh berbagai pikiran yang tidak aku inginkan tentangnya, sesekali aku tersandung oleh bebatuan dan terjatuh. Lututku sedikit berdarah, tapi aku tidak peduli itu aku bangkit dan berlari mencari Arya. Aku menangis menahan rasa sakit, sedih, takut, yang melanda hati dan pikiranku. Arya kau dimana? Aku mengkhawatirkanmu. Kulihat dari kejauhan ada seseorang yang sedang berdiri ditengah jalan, ku coba menyipitkan kedua mataku berusaha mengenalinya, kuusap wajahku dengan kedua tanganku yang basah oleh air hujan. Tidak, itu Arya. Apa yang ia lakukan? Jangan-jangan. Aku langsung berlari mendekatinya.
‘Apa yang sedang kau lakukan bodoh?!’ Batinku menyumpah serapahinya. Aku terus berlari mendekatinya, tidak. Ku lihat ada truk dari arah depan.
“ARYAA!!! PERGIIII ADA TRUK DIDEPANMU, CEPAT PERGI!!!!” Aku berteriak padanya dengan terus berlari, tapi apa yang dia lakukan? Dia malah mendekat dan terus memejamkan matanya. Apa yang kau lakukan bodoh, apa dia mencoba melakukan bunuh diri. Rasa takut mulai menyeruak dalam hatiku, dan aku mempercepat lariku.Truknya semakin mendekat, dan langsung ku dorong tubuhnya, dannn...
BRAKKKKKKKKK......!!!!
‘Apa yang sedang kau lakukan bodoh?!’ Batinku menyumpah serapahinya. Aku terus berlari mendekatinya, tidak. Ku lihat ada truk dari arah depan.
“ARYAA!!! PERGIIII ADA TRUK DIDEPANMU, CEPAT PERGI!!!!” Aku berteriak padanya dengan terus berlari, tapi apa yang dia lakukan? Dia malah mendekat dan terus memejamkan matanya. Apa yang kau lakukan bodoh, apa dia mencoba melakukan bunuh diri. Rasa takut mulai menyeruak dalam hatiku, dan aku mempercepat lariku.Truknya semakin mendekat, dan langsung ku dorong tubuhnya, dannn...
BRAKKKKKKKKK......!!!!
Apa yang terjadi? ku arahkan kepala kesamping, ku lihat dia terjatuh dan kaget lalu langsung menatapku. Dia kaget, melihat apa yang terjadi. Dan langsung mendekatiku, aku bersyukur dia selamat. Dan aku? Tubuh dan kepalaku berlumuran darah segar, hujan tak kunjung berhenti malah semakin deras membawa darahku mengalir ke segala arah, dan sangat sakit sekali, belum pernah ku rasakan rasa sesakit ini, ku rasa umurku tidak akan lama lagi. Tapi, aku senang melihatnya baik-baik saja.
“Bira. Apa yang kau lakukan? Kenapa kau seperti ini?.” Ucapnya terbata-bata sambil menangis dan memangku kepalaku. Ku lihat dia sangat sedih sekali. Ingin kuusap air matanya, tapi aku tak mampu melakukannya. Aku tak bisa menggerakan seluruh anggota badanku, Tuhan sunguh ini sakit sekali.
“Kau saja yang bodoh, apa dengan kehilangan seseorang kau juga akan menghilang dari dunia ini?. Arya aku tidak apa-apa, percayalah. Hiduplah dengan baik, kenanglah aku sebagai sahabatmu. Jangan pernah lakukan hal semacam itu lagi, cukup aku saja yang merasakan sedih dan rasa sakit ini. Aku tidak ingin membaginya padamu, biarkan senja ini menjadi saksi persahabatan kita. Arya belajarlah untuk mengikhlaskan semua yang terjadi, apapun itu. Arya.... mungkin, ini senja terakhirmu bersamaku..” Ucapku terbata-bata menahan rasa sakit ini, dia menangis berteriak memanggil namaku. Tidak pernah kulihat dia sesedih ini, Tuhan aku tidak tahan melihatnya.
“Kau tidak boleh pergi, kau harus bertahan.” Teriaknya disela tangisannya juga diantara hujan, berusaha mengusap air mataku yang bercampur dengan darah. Aku tersenyum tipis melihatnya.
“Aku menyayangimu sahabat.” Mungkin itu kalimat terakhirku. Saat itu aku sekilas melihat ke arah samping Arya, ada celah sedikit. Ku lihat matahari tenggelam di saat-saat terakhirku ini Senja terakhirku, Arya lalu langsung mendekap erat tubuhku, setelah itu entah apa ada sesuatu yang menyuruhku untuk memejamkan mata, tubuhku lemas masih terdengar sedikit sayup-sayup tangisnya dan semuanya menjadi gelap bagiku. Aku sudah melihat jutaan senja, tapi tidak satupun dari mereka yang lebih indah daripada ketika kau memelukku sebagai sore yang sederhana.
“Bira. Apa yang kau lakukan? Kenapa kau seperti ini?.” Ucapnya terbata-bata sambil menangis dan memangku kepalaku. Ku lihat dia sangat sedih sekali. Ingin kuusap air matanya, tapi aku tak mampu melakukannya. Aku tak bisa menggerakan seluruh anggota badanku, Tuhan sunguh ini sakit sekali.
“Kau saja yang bodoh, apa dengan kehilangan seseorang kau juga akan menghilang dari dunia ini?. Arya aku tidak apa-apa, percayalah. Hiduplah dengan baik, kenanglah aku sebagai sahabatmu. Jangan pernah lakukan hal semacam itu lagi, cukup aku saja yang merasakan sedih dan rasa sakit ini. Aku tidak ingin membaginya padamu, biarkan senja ini menjadi saksi persahabatan kita. Arya belajarlah untuk mengikhlaskan semua yang terjadi, apapun itu. Arya.... mungkin, ini senja terakhirmu bersamaku..” Ucapku terbata-bata menahan rasa sakit ini, dia menangis berteriak memanggil namaku. Tidak pernah kulihat dia sesedih ini, Tuhan aku tidak tahan melihatnya.
“Kau tidak boleh pergi, kau harus bertahan.” Teriaknya disela tangisannya juga diantara hujan, berusaha mengusap air mataku yang bercampur dengan darah. Aku tersenyum tipis melihatnya.
“Aku menyayangimu sahabat.” Mungkin itu kalimat terakhirku. Saat itu aku sekilas melihat ke arah samping Arya, ada celah sedikit. Ku lihat matahari tenggelam di saat-saat terakhirku ini Senja terakhirku, Arya lalu langsung mendekap erat tubuhku, setelah itu entah apa ada sesuatu yang menyuruhku untuk memejamkan mata, tubuhku lemas masih terdengar sedikit sayup-sayup tangisnya dan semuanya menjadi gelap bagiku. Aku sudah melihat jutaan senja, tapi tidak satupun dari mereka yang lebih indah daripada ketika kau memelukku sebagai sore yang sederhana.
Terima kasih Arya
Selamat Tinggal Senja..
************************************
15 Tahun kemudian...
Senja. Aku menaiki bukit, dengan setelan jasku ini. Menapaki setiap inci kenangan bersamanya. Mengingat diriku akan masalalu, betapa getirnya diriku saat itu. Hanya sepi yang ku punya, sunyi mengajarkanku tentang ketabahan, setabah tanah yang digenangi air hujan. Aku menghampiri pohon masa kecilku lalu menghadap dimana matahari akan tenggelam, namun aku sendiri. Aku melihat matahari yang sedang sibuk untuk kembali ke paraduannya. Di remang senja, aku merindukannya. Merindukan cara dia tertawa dan memahami diriku ini. Dibawah senja sore ini. Aku menemukan rindu diantara jingganya. Dimana dulu kita pernah bersama.
“Aku sekarang sudah menjadi Orang, kau tau? Itu karena kau. Aku merindukanmu dari dunia yang berbeda, apa kau tak ingin melihat senja bersamaku lagi? Terima kasih sudah mau menghabiskan jutaan senja bersamaku, sahabat.” Ucapku lirih, dan saat itu juga terlihat sinar sang surya menipis dan seketika ada formasi burung membentuk ekspresi senyum di atas matahari. Apakah itu kau????......
“Aku sekarang sudah menjadi Orang, kau tau? Itu karena kau. Aku merindukanmu dari dunia yang berbeda, apa kau tak ingin melihat senja bersamaku lagi? Terima kasih sudah mau menghabiskan jutaan senja bersamaku, sahabat.” Ucapku lirih, dan saat itu juga terlihat sinar sang surya menipis dan seketika ada formasi burung membentuk ekspresi senyum di atas matahari. Apakah itu kau????......
0 Says:
Post a Comment